PIONIR REVOLUSI SEPAKBOLA MODERN
Ada sebuah pertanyaan klasik yang kerap terlontar dari para pencinta sepakbola di Tanah Air. Apa itu? Ini: mengapa PSSI tidak mampu mencari 11 pemain terbaik dan terhebat dari 250 juta penduduk Indonesia? Banyak faktor, tentu. Namun, sejauh pengamatan dan pengalaman Penulis, faktor kepemimpinan puncak menjadi semacam kotak pandora untuk menjawab.
Sebagai wartawan olahraga sepakbola, Penulis mengalami tiga periode ketua umum PSSI, yaitu Azwar Anas, Agum Gumelar, dan Nurdin Halid. Kebetulan Penulis relatif ‘dekat’ dengan ketiga mantan orang nomor satu di PSSI itu, sehingga cukup banyak yang saya ketahui tentang visi, misi, strategi, komitmen, hingga kapasitas mereka.
Satu hal yang menarik untuk disampaikan di sini bahwa ada perbedaan mendasar dalam kepemimpinan ketiga tokoh ini. PSSI di bawah komando Azwar Anas dan Agum Gumelar yang berlatar militer-birokrat cenderung normatif, tidak detail, elitis dan sentralistik dengan sistem komando top-down yang kaku. Sebaliknya, Nurdin Halid yang berlatar pengusaha-politisi yang sarat pengalaman organisasi lebih detail, kaya kreasi dan inovasi, serta berani melakukan terobosan (out of box).
Nurdin Halid berani melakukan langkah-langkah revolusioner untuk memodernisasi organisasi PSSI. Pertama, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga PSSI diubah menjadi Statuta PSSI sesuai FIFA Standard yang diikuti belasan Peraturan Organisasi (PO). Kedua, membentuk badan-badan otonom seperti Badan Liga Indonesia, Badan Liga Amatir, Badan Futsal Nasional, dan Badan Industri Sepakbola. Ketiga, menggulirkan Liga Pendidikan Indonesia (LPI), renasionalisasi dan naturalisasi pemain asing berkualitas menonjol untuk menaikkan level permainan tim nasional.
Keberanian lain yang ditunjukkan Nurdin Halid ialah mencalonkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Asia 2007 dan tuan rumah Piala Dunia 2022. Di luar itu, melakukan lobi ke Komisi X DPR RI agar klub-klub Liga Indonesia masih boleh mendapatkan dukungan dana dari APBD melalui tiga pilihan skema, yaitu sponsorship, partnership, dan atau ownership. Bersamaan dengan itu, meminta dukungan DPR mengucurkan dana APBN sebesar Rp 50 miliar untuk membangun basecamp tim nasional berstandar dunia.1
***
Perbedaan mencolok Nurdin sebagai pengusaha ialah bahwa ukuran kinerja organisasi yang dipimpinnya ialah hasil akhir yang terukur. Tatkala mengemban amanah menjadi manajer PSM Makassar tahun 1995, Nurdin Halid bekerja berdasarkan paradigma dan pendekatan bisnis yang berorinetasi pada kualitas dan prestasi.
Proses bermutu pasti berbuah produk akhir bermutu pula. Konkretnya, Nurdin berani melawan tabu dengan mengontrak tiga pemain bintang dari Pulau Jawa dan tiga pemain asing yang diikuti kenaikan gaji dan bonus kemenangan seluruh pemain dan pelatih serta ofisial tim. Sebagai klub profesional, manajemen PSM dirombak total dengan memakai sistem dan manajemen perusahaan.
Hasilnya, PSM mengalami lompatan prestasi yang mengagumkan: musim pertama 1995/1996, PSM menjuarai Wilayah Timur dan menembus partai final di Senayan, padahal musim sebelumnya berada di posisi ke-9 Wilayah Timur dan nyaris degradasi. Musim kedua, mencapai babak semifinal dan musim keempat merebut gelar juara Liga Indonesia. Di level internasional, PSM meraih gelar juara dalam kejuaraan di Bangladesh dan Piala Hi Chi Minh City di Vietnam.
Visi, paradigma, dan oritentasi pada kualitas dan prestasi itu pula yang menjadi ‘jualan’ Nurdin Halid ketika bertarung merebut kursi PSSI-1 akhir 2003. Begini komentar singkat Nurdin Halid usai memaparkan visi dan misi sebagai calon ketum PSSI: “Presentasi saya diyakini oleh para pemilik suara Kongres PSSI karena mereka melihat sendiri apa yang saya kerjakan mengangkat kualitas dan prestasi PSM.” Visi dan Misi yang dipaparkan dalam Kongres itu kemudian dikembangkan menjadi Visi PSSI 2020, yaitu “Membangun Industri Sepakbola Meraih Pentas Sepakbola Dunia.”
Dan, melalui proses pemilihan yang demokratis, Nurdin Halid berhasil menduduki kursi PSSI-1 setelah menyingkirkan 3 tokoh sepakbola nasional, yaitu E.E Mangindaan, Sumaryoto, dan Jacob Nuwa Wea (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi). Kepada Penulis, pakar koperasi dan pemerhati sepakbola Prof. Dr. Thoby Mutis memberi komentar singkat begini tentang kemenangan Nurdin Halid: “Nurdin benar-benar hebat. Ia mampu mengalahkan seorang Menteri melalui proses pemilihan yang demokratis.”
Hal penting lain dari karakter kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI ialah dia mau belajar dan mendengar masukan-masukan yang positif. Dalam sebuah pertemuan informal beberapa hari setelah terpilih sebagai Ketua Umum PSSI, ada dua pertanyaan pokok Nurdin Halid kepada Penulis. Pertama, mengapa PSSI selama ini selalu dikritik dan sulit mencetak prestasi? Pertanyaan kedua, siapa sosok yang paling tepat (saat itu) sebagai administratur sepakbola modern?
Pertanyaan itu diajukan kepada Penulis dalam kapasitas sebagai wartawan peliput sepakbola nasional. Salah satu jawaban Penulis atas pertanyaan pertama ialah bahwa selama ini ada kesenjangan dalam manajemen PSSI antara elit pimpinan di level atas dan pekerja/karyawan di level bawah. Itulah kemudian, Nurdin Halid merekrut sejumlah tenaga profesional untuk menduduki manajemen level menengah di bawah kendali Sekretaris Jenderal yang memiliki kompetensi menterjemahkan dalam aksi keputusan-keputusan Komite Eksekutif maupun Komite Tetap PSSI.
Atas pertanyaan kedua, Penulis menyebut sosok Joko Driyono (saat ini menjadi Wakil Ketua Umum PSSI). Nurdin Halid dan beberapa elit petinggi PSSI yang hadir sempat terkejut mendengar nama Joko Driyono. Dalam perkembangannya, Joko Driyono akhirnya direkrut sebagai Sekretaris Liga (Indonesia) yang diketuai Andi Darusallam Tabusalla. Joko Driyono kemudian dipercayakah oleh Nurdin Halid sebagai konseptor dan eksekutor Badan Liga Indonesia sebelum berubah menjadi PT Liga Indonesia yang mengelola liga profesional sesuai standar FIFA-AFC.
Perbedaan latar belakang yang tergambar pada paradigma, strategi, dan cara kerja itulah yang kiranya bisa menjelaskan mengapa PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin Halid terkesan lebih ‘wah dan heboh’ ketimbang PSSI masa Orla dan Orba, termasuk era Azwar Anas dan Agum Gumelar. Ada benang merah antara kisah sukses PSM dan PSSI di tangan Nurdin Halid.
Sosok Nurdin Halid menjadi faktor kunci keberhasilan ‘revolusi’ paradigma dan manajemen di PSM Makassar yang membuahkan sederet prestasi mentereng. Di tangan Nurdin Halid pula, wajah PSSI berubah total: kompetisi profesional dan amatir menggeliat dan kompetitif, klub-klub berlomba meraih prestasi berkat euforia suporter dan dukungan sponsor, televisi pun bersaing merebut hak siar baik untuk pertandingan liga maupun tim nasional, honor wasit naik signifikan, uang saku pemain timnas juga berlipat ganda.
Kalkulasi berlatar organisatoris dan pengusaha yang berani mengambil risiko itu pulalah yang bisa menjelaskan mengapa Nurdin Halid memberanikan diri mencalonkan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Asia 2007, setelah sebelumnya ia berhasil menjadikan Makassar sebagai tuan rumah babak 8 besar Liga Champions Asia. Obsesi Nurdin Halid mendapat dukungan dari Presiden AFC Mohamaad bin Hammam dan Sekjen AFC Peter Vellapan maupun Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
“Saya punya perhitungan matang. Di satu sisi, saya tahu standar mutu yang dikehendaki AFC waktu saya sukses menjadikan Makassar sebagai tuan rumah babak 8 besar Liga Champions Asia tahun 2001. Di sisi lain, saya melihat potensi besar Indonesia sebagai bangsa bola, sementara AFC sudah menempatkan kompetisi Liga Super Indonesia masuk 8 besar Asia sehingga saya yakin timnas kita sudah mampu bersaing,” demikian alasan Nurdin.
Sukses menjadi tuan rumah babak 8 besar Liga Champions Asia tahun 2001 dan tuan rumah Piala Asia tahun 2007 semakin menyadarkan Nurdin Halid betapa Indonesia adalah bangsa bola Brasil-nya Asia. Maka, ketika mendengar pengumuman Presiden FIFA tentang dimulainya pendaftaran calon tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022, Nurdin Halid segera meminta Penulis menyiapkan draft proposal awal pencalonan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.
Penulis masih ingat kata-kata Nurdin melalui telepon: “Tolong siapkan proposal awal tentang alasan dan manfaat bagi Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Saya akan bahas itu dalam Rapat Exco PSSI pekan depan,” demikian Nurdin.
Namun, ada ironi di balik semua raihan yang ditoreh Nurdin. Di satu sisi, deretan pencapaian PSSI di tangan Nurdin Halid mendapat apresiasi dari organisasi sepakbola internasional, mulai dari Asean Football Federation (AFF), Asian Football Confederation (AFC), hingga FIFA. Namun, di sisi lain, lompatan-lompatan prestasi itu ternyata tidak membuat nyaman segelintir elit politik di negeri ini. Mereka, para lawan politik, justru melihat sepakterjang Nurdin Halid sebagai ‘ancaman.’
Begitulah, ibarat pepatah, hujan emas di negeri orang tapi hujan batu di negeri sendiri. Tak lama setelah sukses menggelar Piala Asia tahun 2007, kursi Nurdin Halid di PSSI pun digoyang.
Berawal dari keputusan kasasi kasus hukum ‘lama’ yang menimpa Nurdin Halid, upaya menjungkalkan Nurdin Halid dilakukan secara sistematis dan massif melalui pemberitaan media massa nasional. Namun desakan agar Nurdin Halid gagal karena pemilik suara tidak satu pun yang mengajukan surat permintaan untuk menggelar Munaslub.
Gagal menjatuhkan Nurdin Halid melalui jalur organisasi sesuai Statuta PSSI, berbagai upaya ‘ilegal’ pun ditempuh, terutama karena semakin dekat dengan agenda Kongres empat tahunan PSSI tahun 2011. Kali ini, sejumlah jurus ditempuh pihak lawan yang dimotori Menpora Andi Alfian Mallarangeng dan didukung KONI/KOI.
Langkah pertama Andi Mallarangeng ialah menjegal pencalonan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Padahal, Indonesia mendapat dukungan anggota eksekutif FIFA dari Konfederasi Amerika Latin dan Afrika, selain beberapa negara Asia dan Australia.
Dan, saat itu Indonesia sudah mengikuti tujuh tahapan bidding dan bersiap mengikuti tahapan kedelapan, yaitu penandatanganan 10 dokumen FIFA oleh pejabat setingkat menteri seperti Menteri keuangan, Bank Indonesia, Kepolisian RI, Menteri Perhubungan, Menteri Luar Negeri.
Proses pembatalan oleh pemerintah berlangsung dramatis di Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Menko Kesra Agung Laksono dan Menpora Andi Alfian Mallarangeng mengundang pejabat PSSI dan KONI/KOI. Didahului pemutaran video yang dipresentasikan Tim Bidding Indonesia di hadapan pejabat FIFA dan 400 wartawan sepakbola dari seluruh dunia, Nurdin Halid memaparkan alasan dan manfaat bagi Indonesia jika menjadi tuan rumah Piala Dunia.
Menariknya, PSSI dalam rapat tersebut seperti ‘diadili’ oleh Menpora Andi Mallarangeng dan Ketua Umum KONI Rita Subowo. Perdebatan sengit terjadi, terutama antara Nurdin Halid dan Andi Mallarangeng. Mallarangeng ngotot bahwa Indonesia tidak layak menjadi tuan rumah karena kualitas tim nasional rendah dan hanya akan menjadi bulan-bulanan tim-tim elit dunia.
Nurdin Halid tetap bersikukuh bahwa penentuan tuan rumah Piala Dunia tidak ditentukan oleh kualitas tim nasional. Seperti tertuang dalam dokumen persyaratan menjadi tuan rumah, dari 10 kriteria yang dinilai FIFA, hanya ada tiga poin yang terkait langsung dengan sepakbola. FIFA samasekali tidak menyebut kualitas dan prestasi tim nasional sebagai persyaratan.
Argumentasi Nurdin Halid kelak terbukti setelah FIFA memutuskan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Seperti halnya Indonesia, Qatar pun belum pernah lolos ke putaran final Piala Dunia. Dalam perdebatan itu, Nurdin Halid juga menyampaikan fakta bahwa berkat dukungan publik sepakbola nasional dan pemerintah RI, tim nasional Indonesia tampil memukau dan bersaing ketat dengan Arab Saudi dan Korea Selatan di Piala Asia 2007.
Dan, yang sungguh ironis bahwa pendahulunya Aburizal Bakrie menandatangani surat dukungan Pemerintah RI untuk pencalonan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia. Kini, giliran penerusnya Agung Laksono yang menandatangani surat penarikan diri Indonesia sebagai calon tuan rumah Piala Dunia 2022. Drama yang sungguh memalukan karena pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono bisa dipermainkan oleh seorang Andi Mallarangeng.
Yang menyesakkan, mimpi bangsa Indonesia untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia digagalkan oleh seorang Andi Mallarangeng. Sebab, banyak anggota komite eksekutif FIFA justru memfavoritkan Indonesia yang terpilih. Mayoritas anggota eksekutif FIFA akhirnya menjatuhkan pilihan kepada Qatar, negara bercuaca sangat panas dengan penduduk hanya sekitar tiga juta lebih.
Terobosan bersejarah Nurdin Halid mencalonkan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia justru mengilhami para pimpinan ASEAN agar kawasan Asia Tenggara menjadi tuan rumah bersama Piala Dunia 2042, walaupun wacana itu tidak ditindaklanjuti. Bukan hanya itu, sukses besar menjadi tuan rumah Piala Asia 2007 dan keberanian Nurdin Halid menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 kelak diikuti oleh KONI/KOI dan didukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadikan Indonesia tuan rumah Asia Games 2018.
Bersamaan dengan upaya menggagalkan pencalonan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia, serangan terhadap Nurdin Halid datang bertubi-tubi. Dituding mempolitisasi tim nasional, Nurdin Halid didesak mundur. Hampir setiap hari Kantor PSSI didemonstrasi oleh sekelompok orang yang sengaja dikerahkan.
Untuk menekan Nurdin Halid, Menpora Andi Mallarangeng mendesain ‘pengadilan liar’ berupa Kongres Sepakbola Nasional (KSN). Yang mengejutkan, KSN diawali permintaan Presiden SBY kepada Pengurus PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) di Istana Negara agar perlu dilakukan seminar atau semacamnya yang membahas secara komprehensif bagaimana memajukan sepakbola nasional.
Tentu mengherankan, isu sepakbola menjadi salah satu materi pembicaraan dalam pertemuan itu, dan lebih mengejutkan lagi PWI justru kemudian menjadi pelopor KSN yang berarti seluruh media nasional dan lokal ramai-ramai menghakimi PSSI di bawah pimpinan Nurdin Halid.
Namun, target Pemerintah yang dimotori Andi Mallarangeng lewat KSN gagal total. Jenderal bola Agum Gumelar yang didaulat memimpin KSN tak bisa diatur. Sepanjang KSN berlangsung, Agum tak memberi ruang sedikit pun bagi peserta KSN yang didominasi orang-orang Menpora untuk mengutak-atik organisasi PSSI. “Ini Kongres Sepakbola, bukan Kongres PSSI!” Berkali-kali kalimat itu terlontar dari Agum. Saat pembacaan kesimpulan KSN, target terakhir lawan untuk membentuk Badan Sepakbola Nasional di bawah Menpora juga dipatahkan oleh Agum setelah melihat penolakan keras oleh delegasi PSSI.
Gagal menghakimi Nurdin lewat jalur ilegal KSN Malang, Pemerintah fokus bertarung lewat jalur resmi, Kongres PSSI tahun 2011. Serangan pertama dilakukan terhadap pasal kriminal dalam Statuta PSSI yang tidak sesuai dengan Statuta FIFA. FIFA sendiri tidak mempermasalahkan hal itu sejauh tak bertentangan dengan sistem hukum di Indonesia.
Tentang hal ini, Penulis sempat bertanya kepada Sekjen AFC dan jawabanya cukup menarik: “Ini memang diatur dalam Statuta FIFA, namun pemberlakukannya tergantung sistem hukum dalam negeri masing-masing anggota FIFA. Jika hukum Indonesia membolehkan seorang mantan terpidana memimpin organisasi, maka tidak masalah,” demikian pandangan Sekjen AFC.
Gagal mendesak Nurdin Halid tidak mencalonkan diri di Kongres PSSI 2011 karena FIFA tak terlalu mempersoalkannya, Pemerintah kemudian mengajukan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal George Toisuta dan pengusaha minyak Arifin Panigoro untuk maju menghadapi Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie di Kongres. Untuk menjamin suara di Kongres, dibentuklah Kelompok 78 yang diklaim sebagai pemilik suara PSSI.
Pelaksanaan Kongres PSSI di Pekanbaru berlangsung mencekam. Ada beberapa peristiwa sepanjang hari menjelang Pembukaan Kongres malam hari. Sejak pagi hingga siang menjelang sore hari, sekelompok orang melakukan demonstrasi di depan hotel tempat pelaksanaan Kongres. Mereka meneriakkan nama Nurdin Halid agar mundur dari pencalonan, padahal FIFA tidak mempersoalkannya.
Sore sekitar pukul 16.00 WIB menjelang Pembukaan Kongres malam harinya, area sekitar hotel dikuasai oleh lebih dari 300 polisi. Suasana terasa mencekam karena di seberang jalan di depan hotel, ratusan tentara sedang berjaga-jaga. Dalam posisi ‘berhadap-hadapan’, muncul pertanyaan di kalangan panitia Kongres: akankah ratusan tentara yang sedang berjaga-jaga akan menyerbu hotel dan menguasai hotel.
Yang terjadi kemudian, sekitar jam 17.00 WIB, polisi mundur dan menghilang. Posisi polisi kini diganti oleh tentara. Dari beberapa anggota polisi tersisa yang berada di basement hotel, ada perintah dari Jakarta (Mabes Polri) agar polisi mundur dan membiarkan tentara yang menguasai hotel.
Sore itu juga, beberapa petinggi PSSI yang sedang berada di kamar hotel tempat Kongres digelar, didatangi beberapa polisi. Menurut saksi mata, mereka mencari seorang anggota Exco PSSI yang diduga menyiapkan dan menyimpan uang yang akan dibagikan kepada peserta Kongres (money politics).
Namun Kongres PSSI di Pekanbaru akhirnya bubar karena ada intimidasi dari kelompok 78 yang didukung sekelompok orang berbadan tegap dan berambut cepak. Setelah sempat dihadang dan saling dorong di depan pintu ruang Kongres antara Kelompok 78 dan belasan anggota Brimob, Kelompok 78 akhirnya masuk dan menguasai ruang Kongres. Sebelum kisruh di depan ruang Kongres, Penulis sempat mendengar pernyataan seorang pria berbadan tegap dan berambut cepak kepada teman-temannya bahwa jika nanti terjadi keributan maka segera tangkap dan amankan ketua Umum Nurdin Halid dan Sekjen PSSI Nugraha Besoes sebagai biang kerusuhan.
Kongres berikutnya digelar di Hotel Sultan, Jakarta. Namun, Kongres yang dipimpin oleh Agum Gumelar sebagai ketua Tim Normalisasi PSSI dan dipantau langsung oleh pejabat FIFA juga bubar karena intimidasi dari Kelompok 78. Didahului pengunduran diri anggota Tim Normalisasi FX Rudiyatmo, Agum Gumelar dan petinggi FIFA dengan tergesa-gesa dan dikawal polisi berpakaian sipil meninggalkan ruang Kongres.
Menurut informasi yang didapat Penulis malam itu, Kelompok 78 sengaja membuat keributan dan hendak mengarahkan jalannya Kongres. Setelah Kongres bisa ‘diarahkan’, maka Kelompok 78 akan menghadirkan George Toisuta dan Arifin Panigoro ke ruang Kongres untuk dipilih dan ditetapkan di hadapan pejabat FIFA yang mendampingi Agum Gumelar sebagai Ketua Tim Normalisasi.
“Pak George Toisuta dan Pak Arifin Panigoro sudah standby di salah satu ruangan hotel Sultan ini. Mereka menunggu moment untuk masuk ke ruang Kongres,” ujar salah seorang pejabat PSSI kepada Penulis malam itu. “Mungkin Pak Agum sudah membaca skenario mereka sehingga segera meninggalkan ruangan Kongres,” pejabat itu menambahkan.
Gagal di mendudukkan Toisuta-Panigoro menjadi kursi PSSI-1 dan PSSI-2 melalui Kongres I dan II, Menpora Andi Mallarangeng mengeluarkan kartu ‘As’, yaitu berupa surat keputusan pembekuan kepengurusan PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie. Keputusan vulgar Pemerintah Indonesia yang merangsek masuk terlalu jauh ke dapur PSSI ditentang oleh FIFA. Dan, lembaga sepakbola dunia itu pun mengeluarkan ultimatum bahwa keempat kandidat yang ‘berseteru’ – Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, George Toisuta, dan Arifin Panigoro – dicoret oleh FIFA sebagai kandidat Ketua Umum PSSI.
PSSI di bawah komando Nurdin Halid tentu tidak luput dari kelemahan dan kekurangan. Namun, dalam segala kekurangan dan kelemahan itu, kepemimpinan Nurdin Halid selama 7 tahun di PSSI telah meninggalkan jejak-jejak warisan yang tak ternilai bagi negara bangsa, khususnya pondasi dan arah perjalanan sepakbola Indonesia modern yang terus menggeliat hingga hari ini. (Yosef Tor Tulis)
Alamat: Wisma NH
Jalan Raya Pasar Minggu No. 2 B-C
Pancoran, Jakarta Selatan
✉️ info@thenurdinhalidinstitute.com