DI BALIK ‘KEMENANGAN GANDA’ GOLKAR DI PEMILU 2024
Oleh: Prof. Dr. Nurdin Halid, SE
(Wakil Ketua Umum Partai Golkar)
Pesta demokrasi Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden pada 14 Februari 2024 lalu berlangsung lancar, aman, dan damai. Meski perhitungan real count KPU belum tuntas, namun berdasarkan quick count, Partai Golkar boleh mendeklarasikan diri sebagai ‘pemenang’ Pemilu 2024. Di satu sisi, sukses ‘memimpin’ Koalisi Besar memenangkan paslon 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Di sisi lain, sukses menjadi ‘pemenang kedua’ Pileg (hasil sementara) dengan perolehan suara yang signifikan: naik 3 sampai 3,5 persen dibandingkan Pileg 2019.
Hasil perhitungan cepat atau quick count dari berbagai lembaga kredibel menunjukkan, perolehan suara Partai Golkar rata-rata mencapai antara 14,7 – 15,8% dan menduduki peringkat kedua. Hanya kalah 1 sampai 1,5% di bawah PDIP yang memperoleh suara antara 16,4 – 17,2%.
Misalnya, hitung cepat versi Politika Research & Consulting (PRC) menyebut Partai Golkar mencapai 15,41 persen. Poltracking mencatat 16,49 persen. Hitung cepat Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukkan Partai Golkar meraih 14,93 persen suara. Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebut 14,54 persen. Indikator Politik Indonesia menyatakan 16,77 persen. Voxpol Center Research and Consulting mencatat 14,86 persen. Litbang Kompas menunjukkan Partai Golkar meraup 14,66 persen suara.
Hasil perhitungan quick count sejumlah lembaga survei itu nyaris tak berbeda dengan hasil rekapitulasi real count sementara KPU yang dipublikasikan di website KPU hingga Sabtu (3/3/2024) pukul 12.47 Wib. Tercatat, dari 65,74% suara nasional yang masuk, Partai Golkar bertengger di posisi kedua dengan mengantongi 11. 557.459 suara, unggul 1,34 juta suara dari Gerindra (10.209.342 suara) dan hanya kalah 1 juta suara dari PDIP di posisi pertama (12.583.459 suara). |
---|
Jika total suara itu dikonversi menjadi kursi DPR RI, maka Partai Golkar hampir dipastikan meraih lebih dari 100 kursi. Perhitungan sementara internal, Partai Golkar saat ini sudah meraih 102 kursi. Dan dengan penyebaran suara yang merata di seluruh Dapil se-Indonesia, saya meyakini, Partai Golkar masih bisa meraih 6 sampai 9 kursi tambahan lagi dari sejumlah Dapil.
Jika merujuk hasil hitung cepat dan tren hasil rekapitulasi perhitungan real count KPU, maka perolehan suara Partai Golkar melesat cukup signifikan dibandingkan saat Pemilu 2019, di mana ketika itu Partai Golkar hanya meraih 12,31 persen suara. Kenaikan sekitar 3,5 persen (versi quick count) di Pileg 2024 adalah raihan tertinggi dibandingkan partai-partai lain.
Pencapaian ini tentu cukup spektakuler dan mengejutkan banyak pihak. Selain melebihi target yang telah dicanangkan, keberhasilan di Pileg 2024 ini telah mengembalikan masa kejayaan Partai Golkar seperti di era Akbar Tandjung 2004. Fenomena menarik lainnya terjadi di level Pilpres. Selama Pilpres 2009, Pilpres 2014, dan Pilpres 2019, pemilih Golkar yang mendukung calon presiden yang diusung tidak pernah mencapai 54 persen. Namun, pada Pilpres 2024, pemilih Golkar yang mendukung Prabowo-Gibran mencapai angka 70 persen.
Tak heran, banyak pengamat dan analis politik yang mengupas fenomena Partai Golkar ini. Saya sendiri berpandangan, sukses ‘ganda’ Partai Golkar di Pileg dan Pilpres 2024 merupakan akumulasi beberapa faktor dengan beragam variabel. Jadi, bukan faktor tunggal. Namun harus diakui, faktor kuncinya terletak pada karakter kepemimpinan Ketua Umum Airlangga Hartarto yang visioner, transformatif, efektif, fleksibel, konsisten, dan taktis. Karakter dan gaya kepemimpinan Airlangga Hartarto bisa dilihat dari beberapa keputusan strategis dan langkah taktis berikut.
Faktor Pertama, keputusan strategis Partai Golkar yang berkomitmen mendukung penuh pemerintahan Presiden Joko Widodo – Maruf Amin. Bahkan, melalui Munaslub dan Rapimnas tahun 2016, Partai Golkar menjadi partai pertama yang dengan tegas sejak awal mencalonkan Jokowi untuk Pilpres 2019. Keputusan itu berdasarkan berbagai pertimbangan ideologis, strategis, dan kalkulasi politik yang matang.
Secara filosofis-ideologis, keputusan mendukung pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla saat itu bermakna bahwa Partai Golkar mempertahankan jatidirinya: lahir untuk berkarya nyata bagi rakyat dan negara di bawah naungan Pancasila. Sedangkan keputusan mengusung Jokowi sebagai capres di Pilpres 2019 adalah ‘jalan ideologi’ Partai Golkar untuk mewujudkan Visi Negara Kesejahteraan 2045, sejalan dengan Nawacita Jokowi menuju Indonesia Emas 2045. Dari kalkulasi politik tahun 2016 itu, Golkar mencermati bahwa dalam 3-5 tahun ke depan, tidak ada kader Golkar yang mampu menandingi popularitas dan elektabilitas Jokowi.
Keputusan strategis Partai Golkar tahun 2016 berlanjut di era kepemimpinan Airlangga Hartarto pasca Pilpres 2019. Di satu sisi, dengan menjadi bagian dari Pemerintah, Partai Golkar mempunyai ruang untuk berkarya nyata bagi masyarakat dan negara sesuai jatidirinya ‘karya-kekaryaan’. Di sisi lain, komitmen kuat dan dukungan penuh Partai Golkar membuat Presiden Jokowi merasa nyaman berjalan bersama Golkar. Tak heran kalau publik melihat Presiden Jokowi terkesan lebih dekat dan mesrah dengan Partai Golkar.
Jadi, efek ekor jas Presiden Jokowi buat Partai Golkar sudah bekerja sejak tahun 2016 dan berbuah pada Pileg dan Pilpres 2019. Selain berhasil memenangkan Jokowi-Maruf Amin di Pilpres 2019, Partai Golkar juga menduduki posisi kedua Pileg saat itu dengan perolehan 12,51 persen suara, padahal Golkar baru saja lepas dari konflik berkepanjangan selama 1,5 tahun. Di Pilpres dan Pileg 2024, asosiasi Golkar – Jokowi semakin menguat yang terbukti dari kenaikan suara Pileg lebih dari 15 persen, selain memenangkan paslon Prabowo-Gibran (hasil sementara).
Faktor kedua, kerja cerdas dan taktis Airlangga Hartarto sejak awal kepemimpinannya dalam merangkul dan mensolidkan berbagai kekuatan internal partai dan mengkonsolidasikan organisasi atau mesin partai dari pusat hingga daerah. Termasuk menyiapkan secara terencana dan terukur sejak awal kader-kader potensial untuk bertarung di Pileg, Pilpres, dan Pilkada. Dan untuk menjawab tuntutan zaman, banyak kader muda potensial dipromosikan duduk di struktur elit partai maupun bacaleg, bacagub, bacabub/bacawalkot, baik yang maju di Pileg 2019 dan Pilkada serentak 2020 maupun di Pileg dan Pilkada 2024. Bahkan, beberapa kader muda Golkar duduk di kabinet Indonesia Maju.
Yang tidak kalah penting, Keputusan Rapimnas Partai Golkar tahun 2019 yang sejak dini mencalonkan Airlangga Hartarto sebagai capres di Pilpres 2024, setelah Jokowi tidak bisa maju lagi. Meski dalam perjalannya diwarnai dinamika internal dan akhirnya gagal, namun pencalonan dan perjuangan gigih hingga detik-detik terakhir untuk meloloskan Airlangga Hartarto menjadi capres atau cawapres justru menjadi media ‘kampanye’ yang efektif bagi Golkar selama 4 tahun. Sebab tanpa disadari, selama 4 tahun itu, Airlangga Hartarto dan Golkar terus menjadi topik berita di berbagai televisi, media online hingga menjadi pembicaraan publik di berbagai platform media sosial. Apalagi, Airlangga sendiri berhasil mengemban tugasnya sebagai Menko Perekonomian dalam Kabinet Indonesia Maju.
Faktor penting ketiga, tatkala Airlangga ‘memimpin’ Koalisi Besar Indonesia Maju sebagai kelanjutan pemerintahan Jokowi-Maruf Amin yang diikuti keputusan Partai Golkar menjadi salah satu pengusung utama pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Prabowo sendiri memberi coattail effect kepada Golkar. Selain karir politiknya dibesarkan Golkar, Prabowo menunjukkan kedekatan yang kuat setiap kali menghadiri acara-acara penting Golkar. Demikian juga sosok Gibran yang dideklarasikan pertama kali sebagai cawapres oleh Partai Golkar.
Deklarasi Gibran jelas berdampak positif terhadap brand dan posisi ‘penting’ Golkar di mata publik sebagai partai modern dan sangat terbuka dengan generasi muda. Sebab, dalam 5 tahun terakhir, Golkar telah banyak mengorbitkan kader-kader milenial (24-39 tahun) di struktur elit partai maupun di lembaga DPR, DPRD, dan para kepala daerah. Jadi, Golkar berhasil membangun persepsi publik bahwa motor pengusungan pasangan Prabowo-Gibran adalah Partai Golkar. Citra kedekatan Partai Golkar dengan Prabowo Subianto dan Gibran maupun dengan sosok Jokowi direspon positif oleh pemilih.
Di sisi lain, keputusan Golkar sebagai pengusung utama capres 02 dan ‘memimpin’ Koalisi Indonesia Maju memperkokoh posisi Partai Golkar sebagai ‘Pemimpin Koalisi Tengah’ yang terdiri dari 9 partai seperti Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat, PSI, Gelora, dll. Sebagai partai nasionalis, posisi sebagai ‘pemimpin’ Koalisi Tengah cukup strategis dan menguntungkan karena dua partai nasionalis lainnya, yaitu Nasdem di ‘kiri’ dan PDIP di ‘kanan’. Dalam hal ini, Partai Golkar menjadi pilihan alternatif bagi para pemilih kaum nasionalis yang ada di Nasdem dan PDIP tetapi di Pemilu 2024 suka dan ingin memilih Prabowo – Gibran.
Faktor Keempat, keputusan strategis Partai Golkar di bawah Airlangga sukses menjalankan strategi dalam memilih dan menata komposisi caleg di berbagai wilayah (Dapil) serta mempromosikan banyak kader muda milenial. Langkah strategis dengan menempatkan fungsionaris pusat dan figur-figur potensial sebagai caleg di sejumlah wilayah berhasil mempengaruhi suara Partai Golkar di Pileg 2024. Leadership Airlangga menjadi efektif dalam mengonsolidasikan figur dan mesin-mesin partai melalui penempatan caleg-caleg berkualitas secara merata di semua dapil karena didukung peran Golkar Institute dan pengambilan keputusan berdasarkan hasil riset/survei dan jejak prestasi (merit system).
Salah satu langkah taktis yang juga menarik ialah memberikan surat tugas khusus kepada sejumlah figur caleg yang potensial untuk maju di Pilkada gubernur, bupati, dan walikota. Langkah taktis itu tentu saja memberikan motivasi lebih kepada para caleg yang mendapat tugas tambahan itu untuk memenangkan kontestasi di dapil masing-masing sekaligus ‘mencuri start’ kampanye sebagai bakal calon di Pilkada pada November mendatang.
Langkah strategis lain ialah keputusan Partai merekrut beberapa tokoh populer. Salah satunya yang terpenting ialah sosok Ridwan Kamil, mantan gubernur Jawa Barat, yang aktif di media sosial dan memiliki ‘modal politik’ berupa 30 juta lebih followers di Instagram, Facebook, Twitter, dan Tiktok. Didapuk sebagai salah satu wakil ketua umum, Ridwan Kamil ikut memperkuat brand Partai Golkar sebagai partai modern. Terbukti, suara Partai Golkar di Jawa Barat naik cukup signifikan di Pilpres maupun Pileg 2024.
Faktor Kelima, tingginya perolehan suara Partai Golkar kali ini juga tidak lepas dari kerinduan masyarakat terhadap figur partai politik yang moderat dan mengedepankan program dan kerja nyata. Di tengah hiruk-pikuk perpolitikan nasional menjelang Pemilu seretak 2024, tidak sedikit masyarakat pemilih, terutama Generasi Milenial dan Gen Z, yang melirik partai yang menyejukkan dan berkarya nyata tanpa banyak mengumbar retorika politik.
Kepemimpinan Airlangga juga unik dan mendapat simpati publik atau pemilih. Sebagai Menko Perekonomian, ia sukses mengorkestrasi program-program peningkatan perekonomian rakyat seperti program Mekaar, KUR, Kartu Prakerja, bansos yang sangat efektif menyentuh rakyat. Sebagai Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga juga dipandang simpatik karena dinilai cukup negarawan.
Jatidiri karya kekaryaan dan kerja-kerja nyata kader-kader Partai Golkar di Kabinet Indonesia Maju memiliki kesamaan dengan visi-misi paslon Prabowo-Gibran yang ‘melanjutkan dan menyempurnakan’ program-program strategis Presiden Jokowi. Hal itu memudahkan sosialisasi caleg-caleg Golkar dengan masyarakat pemilih.
Faktor Keenam, langkah taktis Airlangga memanfaatkan momentum politik. Misalnya, bagaimana mengasosiasikan Partai Golkar dengan Jokowi dalam beberapa momentum ketika Presiden Jokowi terkesan ‘pindah’ ke Golkar di saat hubungan Jokowi dengan PDIP merenggang. Termasuk bagaimana publik menyoroti jawaban Jokowi kepada wartawan saat dia memakai dasi kuning. Banyak yang menilai Jokowi – Airlangga itu seperti ‘dwitunggal’ dalam 5 tahun terakhir sehingga ada kesan Jokowi merasa ‘nyaman’ dengan Golkar yang terbaca dalam setiap pidato Jokowi di acara-acara Golkar.
Puncaknya, ketika Golkar tampil sebagai partai pertama yang mendeklarasikan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto. Saat itu, muncul spekulasi bahwa Gibran akan berlabuh di Partai Beringin.
Ketika 75-80% masyarakat Indonesia puas dengan kinerja Jokowi dan 90% masyarakat Solo puas degan kinerja Gibran, maka Partai Golkar mendapatkan cottail effect dari kedekatan dan keakraban dengan Jokowi maupun Gibran. Harus diakui, pencalonan Gibran yang tentu ‘didukung’ Jokowi membawa dua ‘kantong suara’ yang besar, yaitu suara pemilih yang puas dengan Jokowi dan suara generasi milenial dan Gen Z yang simpati dengan Gibran.
Ketujuh, kemampuan dan penampilan Airlangga yang teknokratik dan karakternya yang tenang, santun, dan tidak banyak retorika tetapi berbicara lugas sebagai seorang negarawan. Airlangga Hartarto dipersepsikan oleh publik sebagai salah satu ‘tangan kanan’ keberhasilan Jokowi mengelola perekonomian nasional di tengah badai pandemi covid-19 dan krisis pangan global akibat ketegangan geopolitik dan perang Rusia-Ukraina maupun dampak krisis iklim.
Kemampuan teknokratik Airlangga juga bekerja efektif dalam mengkonsolidasikan kader dan menggerakkan mesin-mesin partai berdasarkan prinsip-prinsip partai modern. Misalnya, Airlangga mentransformasi kerja partai dengan mengoptimalkan peran Golkar Institute untuk kaderisasi dan ‘sekolah partai’, pengambilan keputusan berdasarkan hasil riset/survei, serta promosi kader berdasarkan merit system: kualifikasi, kompetensi, rekam jejak, loyalitas, dan karya nyata kader.
Lebih dari itu, cara berpikir, bersikap, dan statement-statement Airlangga sebagai Menko Perekonomian maupun sebagai Ketua Umum Golkar memperlihatkan sosok seorang negarawan. Ditambah lagi, gaya bicara yang irit dan lugas serta pembawaannya yang tenang dan terkadang humoris di hadapan media turut menarik simpati publik, termasuk generasi milenial dan Gen Z.
Simpati publik kepada brand Partai Golkar yang nasionalis-moderat dan efektivitas kepemimpinan Airlangga Hartarto sebagai ketua umum juga diperkuat oleh kehandalan komunikasi politik yang diperankan barisan kader Golkar yang tampil sebagai ‘juru bicara’ di berbagai media, diskusi, acara-acara talkshow TV. Apalagi sebagian besar kader Golkar yang muncul di publik masih muda-muda.
Kesimpulan saya, pencapaian spektakuler Partai Golkar di Pilpres dan Pileg 2024 merupakan akumulasi dari beragam faktor di atas. Dan saya meyakini, peran Partai Golkar dalam 5 tahun ke depan akan semakin besar, baik di pemerintahan maupun di parlemen.
*Penulis adalah Wakil Ketua Umum Partai Golkar
*****
Alamat: Wisma NH
Jalan Raya Pasar Minggu No. 2 B-C
Pancoran, Jakarta Selatan
✉️ info@thenurdinhalidinstitute.com