NEO-NASIONALISME EKONOMI
Oleh: Nurdin Halid
Hari-hari ini kita kembali diliputi kecemasan. Negara kaya raya sumber daya alam dan sumber daya manusia terombang-ambing oleh kondisi memburuknya perekonomian negara-negara maju dan menurunnya harga komoditas di pasar global. Akibatnya, arus modal dan investasi ke Indonesia melambat, nilai tukar rupiah melemah, penerimaan negara dari ekspor dan pajak menurun, pertumbuhan ekonomi terkoreksi menjadi 5,8, devisa terkuras untuk membayar utang yang jatuh tempo atau akibat repatriasi laba atau dividen dari perusahaan asing.
Yang dirasakan rakyat banyak ialah harga barang, khususnya pangan, dan biaya hidup melonjak drastis. Terjadi krisis pangan nasional, termasuk energi, sehingga harus membuka lebar-lebar keran impor seperti beras dan (daging) sapi.
Karena persoalan mendasar ekonomi nasional kita masih sama: bergantung pada komoditas primer dan dimanjakan oleh aliran modal, teknologi, dan produk asing asing yang masuk tanpa diikuti perubahan mendasar pada struktur dan kualitas perekonomian domestik. Dominasi asing yang digerakkan oleh kapitalisme global sudah sedemikian mencengkram perekonomian nasional kita.
Meski tekanan belum terasa hebat seperti tahun 1998 dan 2008, namun pelajaran penting yang harus diambil dari kondisi saat ini ialah bahwa kita harus segera kembali ke Sistem Ekonomi Pancasila yang berazaskan kerakyatan alias Ekonomi Kerakyatan. Bukan ekonomi konglomerasi. Ekonomi Kerakyatan akan terwujut jika berlandaskan visi dan spirit nasionalisme ekonomi.
Bangsa Indonesia tidak menentang asing. Ideologi ekonomi Indonesia yang termaktub dalam UUD 1945 dan pengalaman sejarah Bangsa ini tetap memberi ruang bagi modal asing, tenaga asing, dan produk asing. Yang diperdebatkan para ahli dan pengamat ekonomi adalah fakta hingga hari ini, bahwa Indonesia justru sangat giat mengembangkan ekonomi konglomerasi yang digerakkan oleh kapitalisme global dan neoliberalisme, dua musuh besar yang menyengsarakan rakyat Nusantara selama 350 tahun.
Atas nama tuntutan globalisasi, kita membuka lebar-lebar pintu masuknya utang luar negeri, perusahaan-perusahaan transnasional, investasi asing, dan berbagai produk impor. Karena fokus para pemimpin lebih pada ekonomi konglomerasi, akibatnya ekonomi kerakyatan terpinggirkan. Koperasi terlantarkan dan ‘mati suri’. Usaha-usaha mikro, kecil, dan menengah kewalahan menghadapi serbuan produk-produk impor. BUMN dan BUMD tidak efisien karena sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme serta jauh dari prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) dan good government governance (GGG).
Pada saat yang sama, hutan dan hasil hutan, hasil laut, kekayaan bawah tanah dikeruk dan diangkut ke luar negeri. Struktur ekonomi kita pun jadi kacau: lahan pertanian berubah menjadi area perkebunan dan kawasan perumahan sehingga banyak petani berbondong-bondong urbanisasi ke kota dan menjadi TKI ke luar negeri. Ironi pun terjadi: negara agraris dan bahari Indonesia harus mengimpor beras, garam, sapi, kedelai, kentang, bawang, buah, dan singkong.
Untuk bisa keluar dari cengkraman asing, kita harus berani menampilkan nasionalisme dan patriotisme ekonomi kita kepada dunia. Negara bangsa ini lahir dari rahim nasionalisme: mulai tahun 1920-an dan tetap eksis hingga hari ini. Nasionalisme berhasil membakar persatuan dan kesatuan dan cinta tanah air untuk mengusir penjajah, mempertahankan kemerdekaan, menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
Justru di situ akar persoalan negara bangsa kita. Para pembuat regulasi (undang-undang) dan pengambil kebijakan telah berkianat terhadap jiwa Proklamasi, dasar dan ideologi negara Pancasila, dan Konstitusi UUD 1945 yang mengamanatkan paham Negara Kesejahteraan (welfare state). Perintah itu sangat jelas tertuang dalam Sila ke-5 Pancasila, Tujuan NKRI dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, dan diturunkan dalam Pasal 33 Ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945. Intinya: memerangi penjajahan (ekonomi) dan membangun Indonesia Merdeka yang menyejahterakan seluruh rakyat NKRI berdasarkan ekonomi kerakyatan melalui koperasi, perusahaan milik negara, dan usaha swasta.
Pada tingkat implementasi, nasionalisme ekonomi mendorong reformasi serius dalam aspek regulasi (hukum) dan birokrasi serta kebijakan. Dari aspek regulasi, semua undang-undang lebih pro kapitalis dan neolib harus direvisi, terutama uu Penanaman Modal dan seluruh uu sektoral agraria (pertanian, kehutanan, pertambangan, perikanan, kelautan, daerah pesisir dan pulau-pulau kecil) serta uu perlindungan petani, peternak, nelayan, koperasi, dan UMKM.
Dari aspek kebijakan makro, ada tiga kebijakan penting yang berdampak luas dan jangka panjang. Pertama, pengembangan ekonomi wilayah harus diikuti kebijakan hilirisasi industri berbasis sumber daya alam untuk menciptakan nilai tambah sekaligus pusat-pusat pertumbuhan baru di seluruh wilayah NKRI. Perlu digarisbawahi, dua kebijakan yang saling terkait ini harus dijakankan secara merata di seluruh wilayah (kabupaten) NKRI, walaupun dengan skala ekonomi berbeda setiap wilayah.
Dalam hal ini, konsep MP3EI perlu diperluas, tidak hanya berorientasi ke pertambangan, kehutanan, dan perkebunan besar. Tapi juga industri skala ekonomi rakyat seperti pertanian, peternakan, perikanan, kerajinan, industri kreatif, industri pariwisata, koperasi, dan UMKM. Asumsinya, seluruh wilayah NKRI memiliki potensi sumber daya alam yang dapat menyejahterakan rakyat lokal. Seluruh kabupaten di NTT yang umumnya gersang, misalnya, sangat potensial sebagai lumbung kapas, jagung, sorgum, kerbau, sapi, ayam, ikan, rumput laut, dan wisata alam.
Kedua, reforma agraria (redistribusi lahan) dan modernisasi desa. Dengan 70% masyarakat Indonesia tinggal di desa, kebijakan ‘membangun dari desa’ tidak hanya menyejahterakan petani, peternak, petambak, dan nelayan, tetapi juga menjamin keamanan pangan rakyat, menahan laju uranisasi, dan pengiriman tenaga kerja tidak terampil ke luar negeri.
Ketiga, infrastruktur dasar dan penunjang seperti jalan raya, listrik, pelabuhan, moda transportasi antarpulau, irigasi, kapal nelayan, dan pasar-pasar rakyat. Kesiapan infrastruktur yang memadai dan didukung sistem logistik nasional akan menghidupkan ekonomi rakyat di desa-desa sekaligus meningkatkan daya saing produk nasional.
Dalam skala mikro, kebijakan tertuju pada pemberdayaan kegiatan ekonomi lokal rakyat banyak yang tersebar di berbagai pelosok Tanah Air, baik di desa-desa maupun kawasan kumuh dan padat penduduk di perkotaan. Pemberdayaan terutama menyangkut akses modal, penyluhan teknologi tepat guna, kebijakan harga, informasi dan akses ke pasar.
Di sisi lain, nasionalisme ekonomi berorientasi kerakyatan yang menolak ide kapitalisme global dan kedaulatan pasar. Politik ekonomi Pasal 33 UUD 1945 menolak dominasi dan eksploitasi asing, ketergantungan pada modal dan produk asing. Bukan anti-asing, tapi pro-ekonomi nasional, ekonomi rakyat banyak, kemandirian dan kedaulatan ekonomi.
Perwujutan nasionalisme ekonomi menghadapi pihak asing dilakukan melalui berbagai instrument proteksionisme yang ditunjukkan baik terkait kepemilikan asset-aset ekonomi nasional strategis maupun produk dalam negeri. Selain itu, meningkatkan penetrasi pasar tradisional secara progresif, pembukaan pasar-pasar baru, dan mengurangi beban utang luar negeri.
Untuk mewujutkan jatidiri ekonomi NKRI di atas, penerapan rule of law menjadi syarat mutlak. Sebab, rule of law yang sudah diadopsi UUD 1945 pasca-amandemen memiliki sejumlah resep untuk memulihkan krisis negara bangsa saat ini dan menyejahterakan rakyat untuk jangka panjang melalui pengakuan dan perlindungan hak-hak dasar rakyat, kontrol dan penyeimbangan atas kewenangan, hak, dan tanggungjawab pemerintah, serta kesetaraan di depan hukum.
Ekonomi kerakyatan akan berbuah jika market-economy berbasis rule of law melucuti pemusatan aset, menghilangkan KKN, menyeimbangkan liberalisasi ekonomi dan keadilan sosial, kepentingan nasional dan daerah, memperkuat civil society dan lembaga-lembaga negara, demokrasi dan perdamaian, reformasi ekonomi-politik, keterbukaan aliran investasi, regulasi ketenagakerjaan. Penerapan rule of law dapat melahirkan dukungan rakyat dan kepercayaan pasar, meningkatkan daya saing, stabilitas keuangan, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan.
Skenario besar atau peta jalan penerapan Ekonomi Kerakyatan seperti di atas sungguh bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan kepemimpinan negarawan nasionalis sejati yang otentik. Ia tidak hanya memiliki visi, misi, spirit kerakyatan yang otentik, tetapi juga memiliki sistem, metode, strategi pencapaian yang tepat dan efisien, serta kapasitas dan karakter kepemimpinan yang kuat, demokratis, dan efektif. Ekonomi Kerakyatan sungguh membutuhkan profil kepemimpinan nasionalis yang demikian pada Pilpres 2014.
(Penulis adalah Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia)
Alamat: Wisma NH
Jalan Raya Pasar Minggu No. 2 B-C
Pancoran, Jakarta Selatan
✉️ info@thenurdinhalidinstitute.com